Rabu, 25 Maret 2015

Ibu Sejati

Pada suatu hari ada dua orang ibu yang merebukan seorang bayi. Perselisihan ini di tangani oleh hakim. Akan tetapi, hakim tidak bisa mengambil keputsan, akhirnya ia mengajak kedua ibu menemui sultan harun al-rasyid. Sultan haun al-rasyid mencoba menggunakan cara halus untuk menyelesaikan permasalahan tersebu. Akan tetapi, cara tersebut tidak berhasil. Akhirnya, sultan harun al-rasyid memanggil abu nawas.
Abu nawas hadir menggantikan hakim. Abu nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu, tetapi menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin  abu nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakuan.
Keesokan hari sidang pengdilan di teruskan lagi. Abu nawasmememanggil algojo dengan pedang di tangan. Abu nawas memerintahkan agar bayi di atas meja. Melihat perbuatan abu nawas kedua perempuan bertanya,”apa yang akan kau lakukan terhadap bayi itu?”
Abu nawas berkata “sebelum saya mengambil tindakan, apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi ini kepada ibu yang sesungguhnya?”
“tidak, bayi itu adlah anaku”jawab kedua perempuan itu bersama
“baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi ini dan tidak ada yang mau menagalh maka saya terpaksa membelah bayi ini menjadi dua sama rata agar kalian berdua bisa mendapatkannya”kata abu nawas mengancam.
Perempuan pertama sangat senang. Sedangkan perempuan kedua menangis sambil berkata “jangan tolong jangan di belah. Aku rela apabila bayi itu sautuhnya diserahkan kepada perempuan itu”. Abu Nawas  tersenyum lega. Sekarang abu nwas mengetahui siapa ibu yang sebenarnya. Abu nawas segera mengambil bayi itu dan langsung menyerahkan kepada perempuan kedua. Perempuan pertama merasa bingung.
 Abu nawas berkata di depan seluruh hdirin bahwa tidak akan ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih di depan matanya, itulah yang di rasakan oleh perempuan kedua. Abu nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatanya.
 Raja harun al-rasyid merasa sangat senang dengan keputusan abu nawas. Sebagai rasa terima kasih, bagunda raja menawari abu nawas menjadi penasehat hakim kerajaan, akan tetapi, abu nawas menolak ia lebih menjadi rakyat biasa.

Kejujuran akan selalu membawa kebaikan. Walaupun wanita kedua sangat menyayangi anaknya ia rela memberikan anaknya kepada wanita pertama . wanita pertama yang terus berbohong akhirnya mendapatkan balasan atas kebohongannya.

Pak Tani

Semua hasil kebunku bisa rusak tanpa kehadiran petani itu .Tanaman padiku tidak tumbuh dengan segar dan tidak mendapat laba bila di jual, yang ada hanya cemoohan para penddang beras.Hasil kebunku bisa memuaskan bila campur tangan budi.Petani  handal yang sudah pengalaman.

Beberapa tahun lalu ada seorang temannya si Hendra,juragan beras yang angkuhdi desa ujung kulon. Ia memesan beras untuk perkawinan adiknya, yang di gelar besar- besaran di rumahnya Danu, teman Hendra tersebut. Begitu banyakhidangan yang tersedia sepert i daging , gulai, sop, dan lain-lain. Ketika tamu menyantap hidangan tersebut banyak cemooahan para tamu. Berasnya tidak enak beli dong beras yang berkualitas atau beli ke petani yang berpengalaman begitu pentingnya si Budi. Campur tangannya nasi yang di makan tidak memuaskan,Budi pun tidak pernah keberatan untuk membantu para juraga beras di Ujung Kulon. Di usia yang sudah tidak muda lagi si Budi masih kuat dan lincah dalam menanam padi dan berjaga semalaman di ladang. Ia mempunyai sawah yang berhektar-hektar, dan tempat penggilingan padi.

 “kalau ayah masih bertekat betani ikut aku ke kota untuk membantu  mengelola sawah-sawah”. “Tetapi ayah menolak karena ayah masih mempunyai tanggun jawab untuk mengurusi kebun.”
Muka si Ernan nampak terkejut.
“sawahnya siapa ayah “
“swah si Hendra “
“apa ayah menyanggupi untuk mengurusi kebun Hendra yang dulu sering  mengolok,mengejek  sampai aku menangis.  Dan dulu dia merendahkan martabat keluarga kita,semua itu masih ku ingat baik di memoriku.Derajat keluaga kita tidak  ada nilainya di mata Hendra dan tak seharusnya si Hendra merendahka martabat keluarga kita. Maka dari itu aku pergi merntau untuk menjadi orang sukses agar keluarga tidak di remehkan orang.Sesampainya aku di tanah rantau.”

Awal Ernan bekerja hanya sebagai kuli panggul beras. Hari demi , tahun demi tahun berlalu, sedikit demi sedikit aku mengumpulkan uang. Berkat kerja keras dan kegigihankuselama ini ia mempunyai sawah yang berhektar-hektar. Kini sawah milik Hendra tak sebanding dengan sawah Ernan.


Setelah selesai tanggung jawabnya si Budi dan si  Ernan  pergi ke kota dan menghiskan masa tuanya bersama anaknya. Dan mungkin ia akan kembali ke desa tempat tinggalnya dulu. Orang-orang di desa ujung kulon telah kehilangan petani yang berpengalaman itu.

Rabu, 04 Maret 2015

Pengalaman Yang Tak Terlupakan



PENGALAMAN YANG TAK TERLUPAKAN


    Kicauan burung dan alarm jam , menandakan waktu menjelang pagi,  sinar matahari mulai terbit dari timur, suara telapak kaki mulai terdengar menuju ke tenda, terikan senior  menglegar untuk membangunkan kami semua, ancaman push up akhirnya muncul dari mulut senior. Seketika tanah yang berdebu itu di gantikan oleh air yang kotor, inilah hal yang paling jengkel yang kami rasakan, tapi semua itu tidak sia-sia.

Tepat waktu subuh,  suara azan memanggil kita semua untuk melaksakan shalat subuh, walau mata ini belum terbuka, kami semua menganbil air wudhu,terasa dingin menusuk-nusuk sampai ketulang tetapi tetap kita lakukan. Suara komat sudah terdengar waktunya shalat di laksanakan.
Setelah shalat subuh kami di suruh masak,untuk sarapan pagi. Kurni bertanya kepada naryo
“nar! Kita ini mau masak apa ya”(kurni kebingungan)
“kamu bisanya masak apa emangnya”
“kalau aku bisanya cuman masak air doang, itu aja gosong”
“apa!!!! Cuman bisa masak air doang”(sambbil terkejut)
“ya udah, sekarang kita masak dengan bahan seadanya”

Beberapa menit kemudian akhirnya masakan mereka matang juga, walaupun tak sebigitu enak.
Prit-prit, pluit yang di bunyikan senior pun terdengar, menandakan untuk berkumpul. Kami pun semua lari tanpa berfikir panjang.
“cepet  dek hitungan ke sepuluh sudah kumpul semua 1,2,3, dan seterusnya”(senior sambil menunggu)
Kami semua sudah nerkumpul di halaman,walaupun itu saja ada yang ketinggalan, jadi kami semua mendapat hukuman yaitu di suruh bersih-bersih lingkungan di sekitar halamnan sekolah,bebarapa menit kemudian halaman sudah bersih, kami semua berkumpul lagi di halaman.
“Selamat pagi, adek-adeku masaih pada semangat gak ini”(sapa kakak senior)
“pagi, masih semangat kak”(seru kami semua)

Kakak senior mengintruksikan kami semua untuk heking dengan rute yang lumayan jauh.
Beberapa menit kemudian akhirnya kelompok Kurni  yang beranggotakan, Naryo, Wawan, Anto, dan Dewi untuk bersiap-siap berangkat, tapi sebelum mereka berangkat meraka harus berpamitan denagan teman-teman dan kakak senior.
“sebelumnya assalamungalaikum”(sapa Kurni )
“wangalaikumsalam”(jawab semua)
“sebelum saya berangkat dengan teman-teman, saya minta doa restunya supaya tidak terjadi halangan suatu apapun, sekian wassalamungalaikum”

Akhirnya kelompok Kurni pun berangkat dengan hati yang begitu gembira.
Tibalah kelompok Kurni di pos 1 dimana di pos itu terdapat kakak senior yang baik-baik, di pos ke 1 hanya beristirahat sejenak, setelah itu kelompok Kurni melanjutkan perjalanan ke pos yang ke 2, tiba-tiba mereka terrnyta salah jalan, jalan yang mereka lewati tidak sesuai dengan yang ada di peta, Wawan bertanya kepada Kurni.
“Kur apa benar ini jalan yang harus kita lewati”
“kayaknya bennar, tapi kok gak ada penunjuknya”(sambil kebingungan)
 “coba lihat di peta “(anto mulai resah)
“astaga, ternyata kita salah jalan, harusnya kita tadi belok”(Kurni terkejut)
“udah jauh lagi ini, terpaksa kita balik lagi”(dewi mulai lelah)

Akhirnya mereka kembali lagi, setelah berjalan cukup lama Kurni dan teman-temanya tiba di pos 2, di pos 2 sudah menunggu kakak senior yang begitu kejam, Kurni dan teman-temanya di suruh ngamen di pinggir jalan dengan muka yang penuh coretan arang, selang waktu beberapa menit akhirnya ada orang yang baik hati memberikan uangnya walau hanya 2 ribu rupiah Kurni merasa senang karena untuk melanjutkan perjalanan syaratnya ngamen sampai dapet uang, kurni dan teman-teman akhirnya melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya yaitu 3.
Di tengah perjalanan mereka beristirahat sejenak untuk minum,
“kur istirahat dulu aku sudah capek”(dewi kehausan)
“ya,!!!!  Teman-teman kite isturahat dulu”(kurni mengintruksikan teman-temanya)
Selang beberapa menit kemudian kami melanjutkan pejalanan ke pos 3, tibalah kami ke pos 3 disana Kurni dan kelompoknya  di sambut dengan kakak senior dengan wajah yang begitu kecewa pada kami.
“dek cepet, lari hitungan kesepuluh sudah sampai sini 1,2,3,4, dan seterusnya”(kata kakk senior)
Kurni pun  berlari drngan sekuat tenaga,sesampinya di sana kami di marah habi-habisan,walaupun itu hanya mengetes mental kami . kami disuruh jalan jongkok, pus ap, dan lain-lain.
Akhirnya pos 3 pun terlewatkan kami melanjutkan perjalanan pulang menujun tenda. Sesampainya di tenda mereka di suruh bersih-bersih dan setelah itu mereka mengambil air wudhu untuk melaksanakan sahlat ashar, sehabis shalat ashar kami pin tidur sambil menunggu kelompok yang lain tiba.

 2 jam berlalu mereka terbangun dan kaget melihat teman-temannya sudah berkumpul di masjid, setelah itu mereka semua di suruh shlat ashar bersama-sama dengan senior , setelah itu mereka di suruh berkumpul di halaman untuk meneruskan kegiatan yang belum selesai .
Akhirnya acara telah selesai kita semua mendapatkan apa yang mereka cari yaitu bukti kalau mereka sudah menjadi senior, mereka pun sangat bangga dan senang bisa mengikuti pelantikan dari awal sampai akhir, mereka pun pulang dengan hati yang  senang.

Astaga



ASTAGA . . .


“Lala! Awas!” teriak seseorang dari belakang. Bruk! Aku meringis kesakitan. Kulihat roda depan sepedaku menabrak pohon yang tumbuh tegak di depan pagar sekolah. “Udah gue ingatkan, kenapa nggak didengerin?” Dhika menghampiriku sambil tertawa cekikikan. “Telat!” sahutku jutek. Dhika makin kencang tertawanya. Aku memilih tak mempedulikan makhluk aneh di hadapanku itu. “Lala … Lala … makanya kalau jalan pakai mata dong. Masa naik sepeda tapi mata lo lihat ke belakang. Udah deh, nggak usah sampai segitunya kali ngeliatin Bapak Reno” ledek Dhika.
Aku melotot kaget. Apa tingkah lakuku sebelumnya jatuh tadi sangat menarik perhatian, ya? Jujur aku akui, memang aku sedang memperhatikan Bapak Reno yang berjalan memasuki gerbang sekolah. Guru Matematika itulah satu-satunya guru yang berhasil memutar balikan makna matematika di hadapanku. Sekarang, bukan hanya aku jatuh cinta pada matematika. Namun juga sudah hampir tergila-gila dengan Bapak Reno. Kenapa? Karena dia sangat mirip dengan Dedy. Cowok yang berhasil memikat hatiku selama dua tahun ini. Tapi sayangnya, tuh cowok sama sekali nggak pernah melirik apa lagi menyatakan cinta padaku. Menyedihkan! Sekarang, sebuah kenyataan membuktikan bahwa Dedy telah pacaran dengan adik kelas sepupunya!
“Lo ngapain masih diam di situ, Dhik? Bantuin gue, dong” sungutku sambil mengulurkan tangan minta ditolong. Bukannya menerima uluran tanganku, Dhika lebih memilih untuk menyelamatkan sepedaku. “Dhika!” teriakku kencang. Semetara Dhika dengan tampang lugunya hanya mengontrol sepedaku yang tampak lecet. “Kayaknya sepeda lo harus buruan masuk bengkel deh. Kalau nggak, gue nggak mau tanggung jawab kalo pulang sekolah lo nebeng sama gue.” “Lo itu nyebelin banget ya, Dhik! Lo nggak peduli apa lutut gue bocor!” sungutku sambil menunjukan lututku yang mulai banjir darah. “Ah … gitu doing. Manja lo. Udah ah, gue bawa dulu sepeda lo ke bengkel. Nyusahin aja lo.” Sahut Dhika tampak tak peduli.
Astaga … ini anak betul-betul bikin darahku mendidih. Dengan memperjuangkan seluruh hidup dan matiku, kucoba untuk berdiri. Behasil!. Kuliat si Andhika Setiawan itu membawa sepedaku keluar dari sekolah. Heran, tuh anak tujuan hidupnya tak jelas, kadang-kadang baik hati, kadang-kadang sangat menyebalkan! Entah sudah takdir atau musibah, aku pun harus menjadi tetangga makhluk satu itu. Aku berjalan terseok-seok menuju ke kelas yang jaraknya tinggal 100 meter. Tak sadar dan tadi ternyata kami berdua jadi tontonan anak-anak lain. Masa bodoh!
“Apa lo!” gertakku pada adik-adik kelas yang berkumpul sambil memandangku kasian. Seketika yang merasa  terpanggil langsung lari kocar-kacir. Sebagai keturunan teratas alias anak kelas 3, wajarlah kalau berlagak sok jagoan di hadapan adik kelas. Toh, aku juga nggak berniat untuk memeras uang ataupun perintah-perintah mereka.
“Door!” teriak seseorang lengkap dengan pukulan di pundak yang tak kira-kira kencengnya. “Lo mau ngagetin atau ngajak berantem, Cha! Memukul pundak kok kaya mukul bata,” gertakku sok-sokan pada Icha, teman sekelasku yang kebetulan juga satu bangku denganku. “Lho? Itu pundak, ya? Kirain beneran bata. Keras bener” “Nggak lucu ….” ejekku yang langsung menghadiahi jitakkan kecil di jidatnya. “Rese lo. Eh, kenapa tuh lutut, lo? Dahsyat! Semburannya ngalahin semburan lumpur lapindo.”
Aku melihat kea rah lutut kiriku. Darah terus keluar dari lutut dan sebagian telah mengering. “Kalau nggak cepet-cepet ke UKS bisa infeksi loh!” tegur Icha. Ditariknya langsung tanganku seakan-akan membawaku berlari. Langsung saja kuhentakkan tangannya. “Cepetan” suruh Icha lagi. “Cepetan.  Cepetan … kaki gue sakit tau! Gimana bisa jalan cepat?” sungutku kesal.

“Sorry, La. Ya udah pelan-pelan aja…” “Tapi gue pengen cepat sampai di UKS.” pintaku.  “Iya … tapi gimana caranya. Jalan aja lo susah. Memangnya sekolah kita punya kersi roda?” “Nggak perlu kursi roda. Lo gendong aja gue sampai ke UKS.” Icha langsung mencak-mencak tak karuan.
***
                “Dhik! Sepeda gue tadi dimasukin ke bengkel mana?”tanyaku sepulang sekolah pada Dhika yang baru saja keluar dari kelasnya. “Bengkel simpang empat,” jawabnya singkat. “Anterin gue, ya… please… kaki gue masih sakit nih. Masa lo tega liat gue capek-capek jalan sampai ke simpang empatsana,” pintaku dengan nada memelas. Dhika hanya mengangguk-angguk kecil. Satu tanda bahwa aku boleh nebeng di sepeda motornya. Bengkel yang dituju lumayan dekat dengan sekolah. Letaknya tepat di persimpangan jalan. Bengkel sepeda ini bukan seperti bengkel service yang elit. Hanya halaman rumah yang disulap menjadi bengkel kecil.
                “Eh, elo Dhik. Sepedanya sudah beres tuh,” sapa salah satu tukang bengkel itu. Kalau dilihat dan wajah dan penampilan, tukang bengkel itu sangat mungkin seumuran dengan kami. “Temen lo ya, Dhik?” tanyaku seraya berbisik. “Iya… naksir? Udah … sana ambil sepeda lo,” suruh Dhika. “Iya… iya…,” Aku mengambil sepeda yang sudah terparkir di pinggir bengkel dibubuhi dengan mulut yang maju 3 senti.”Tiga puluh ribu, Neng,” sapa tukang bengkel itu saat aku sudah siap untuk menggenjot sepeda. “Apanya, Bang?” Si tukang bengkel itu hanya tersenyum kecil Aku langsung mengerti. Kukeluarkan tiga lembar  uang sepuluh ribuan pada abang itu. “Kirain tadi  udah dibayarin Dhika, Bang.” Si tukang bengkel hanya tersenyum.
                                                                                                ***
“Cha… sumpah … Bapak Reno cakep banget..” ucapku sambil memperhatikan Bapak Reno yang sedang asyik menjelaskan masalah trigonometri di depan kelas. “Wooy… sadar! Lo itu, ya… tiap kali ketemu  bapak Reno kayak orang kesambet tau, nggak” komentar Icha. Aku memilih untuk tidak menghiraukannya. Toh, alasan utamaku bukan ingin mengatakan bahwa bapak Reno cakep. Aku masih terus membayangkan Dedy lah yang telah menjelma menjadi Bapak Reno dan sampai  sekarang  aku masih tidak terima kalau Dedy yang kuidolakan takluk di tangan adik kelasnya. Tapi sekarang, walaupun aku tak berhasil mendapatkan Dedy, mungkin Pak Reno yang masih bujangan itu bisa sebagai pengganti.
“Reno…,” panggilku dengan sedikit manja. Bukannya Bapak Reno yang menoleh, malah Dhika yang berada tepat di depanku yang menengok ke arahku. “Lo kenal, Reno?” Tanya Dhika dengan wajah setengah terkejut. “Iya …” jawabku bingung. “Gue punya nomor handphone-nya kalau lo mau,” tawar Dhika. Tanpa menunggu aku setuju atau tidak, dirobeknya kertas kecil dan langsung dicatatkannya nomor handphone.
“Nggak gue sangka lo tertarik,” komentar Dhika sambil menyerahkan robekan kertas itu padaku. “Gue udah lama suka  tau!” “Oh ya… Dia juga cerita sama gue kalau dia lumayan tertarik sama lo,” kata Dhika. “Hah?” teriakku dan Icha bersamaan. “Ssssstt…!! Lala …,” tegur Pak Reno. Aku pun hanya  menjawab dengan senyum kecil masih dengan wajah yang terheran-heran. Beneran nih?
“Serius, Dhik? Cowok itu tertarik sama Lala?  Tanya Icha lagi memastikan. Kali ini dengan mengganti kata Bapak Reno dengan cowok  itu. Dhika hanya mengangguk. Kemudian disusul  dengan  mengacungkan jari telunjuk dan tengah. “Kesempatan lo terbuka lebar, La! Gue yakin lo bisa dapetin dia.”  
Aku hanya tersenyum kecil. Kulihat sekali lagi Bapak Reno tampak semakin gagah  menjelaskan mata pelajaran matematika. Rumus-rumus yang dituliskannya di papan tulis seketika berubah menjadi kata “Aku Suka Kamu.” Aku langsung mengucek-ucek mata. Untungnya rumus-rumus  yang di depan papan tulis langsung berubah seperti biasa. Kayaknya aku bisa mendapatkan Bapak Reno. Ucapku dalam hati.
                                                                                ***
Satu bulan sudah aku melakukan komunikasi lewat SMS dengan Bapak Reno. Tak kusangka, Bapak  Reno yang tadinya terlihat seperti bapak-bapak yang pendiam ternyata seseorang yang humoris. Hampir setiap  kali kami saling telepon selalu saja membicarakan hal-hal yang  lucu. Aku semakin merasa dekat dengan Bapak Reno.
Asal tau saja… Bapak Reno sudah menyatakan cintanya padaku! Cukup membuatku shock setengah mati. Tapi ku mencoba untuk tidak tergesa-gesa dan hanya memberikan sedikit harapan lengkap dengan perhatian-perhatian kecil, hanya lewat sms tentunya.
“Tapi kenapa ya, Cha? Setiap kali ketemu di sekolah, dia selalu aja cuek” “Dia siapa?” “Pak Reno” Kutendang kerikil yang berada di depanku. “Malu kali La…” Kami menutup mulut sejenak, saat mobil truk membuang gasnya tanpa permisi. “Padahal dia sendiri yang bilang, kalau ketemu sama gue, katanya mau negur gue duluan” “Terus, lo pernah nggak berpapasan sama dia?” “Pernah… tapi kenapa ya Pak Reno tampak nggak peduli bahkan seakan-akan nggak sadar kalau dia sedang berpapasan sama gue.” “Iya…ya  Gue juga  jadi bingung,” sahut Icha lagi.
Aku menunggu sampai lampu hijau berubah menjadi lampu merah. Aku dan Icha yang kebetulan berjalan kaki langsung menyeberang di zebra cross saat warna lampu telah berubah. Di seberang jalan tampak bengkel yang langsung mengingatkanku pada kejadian jatuh dari sepeda. Aku tertawa tertahan. “Kenapa,  La?” “Nggak apa-apa, Cuma ingat waktu jatuh dulu aja. Dhika benerin sepeda gue di bengkel ini” jawabku sambil menunjuk kea rah bengkel itu. “Lala!! Sini!!”  Aku dan Icha langsung menoteh ke a rah datangnya suara. Suara  Dhika memanggil terdengar dan dalam bengkel yang kutunjuk. Kami pun langsung mendatanginya.
“Kenapa, Dhik?” “Alaah lo… sok jaim. Gue disuruh dia manggil lo,” sahut Dhika. Aku langsung memajang wajah bingung. “Dia? Siapa Dhik?” “Cowok yang lo suka dari dulu!” jawab Dhika yang makin  membuatku heran. “Siapa?” “Itu!” tunjuk Dhika pada seorang tukang bengkel yang dulu memperbaiki sepedaku. Cowok yang kukatakan seumuran dengan kami. Hening. “Hai, La..”  sapa tukang bengkel itu seraya tersenyum. Astaga! Suara itu! Aku mengerti! Ini bukan salahku. Aku tak pernah member harapan padanya. Dhika salah sangka! Salah sangka! Badanku limbung saat tukang bengkel itu mengulurkan tangannya padaku. “Kenalin… Reno!”