Rabu, 04 Maret 2015

Astaga



ASTAGA . . .


“Lala! Awas!” teriak seseorang dari belakang. Bruk! Aku meringis kesakitan. Kulihat roda depan sepedaku menabrak pohon yang tumbuh tegak di depan pagar sekolah. “Udah gue ingatkan, kenapa nggak didengerin?” Dhika menghampiriku sambil tertawa cekikikan. “Telat!” sahutku jutek. Dhika makin kencang tertawanya. Aku memilih tak mempedulikan makhluk aneh di hadapanku itu. “Lala … Lala … makanya kalau jalan pakai mata dong. Masa naik sepeda tapi mata lo lihat ke belakang. Udah deh, nggak usah sampai segitunya kali ngeliatin Bapak Reno” ledek Dhika.
Aku melotot kaget. Apa tingkah lakuku sebelumnya jatuh tadi sangat menarik perhatian, ya? Jujur aku akui, memang aku sedang memperhatikan Bapak Reno yang berjalan memasuki gerbang sekolah. Guru Matematika itulah satu-satunya guru yang berhasil memutar balikan makna matematika di hadapanku. Sekarang, bukan hanya aku jatuh cinta pada matematika. Namun juga sudah hampir tergila-gila dengan Bapak Reno. Kenapa? Karena dia sangat mirip dengan Dedy. Cowok yang berhasil memikat hatiku selama dua tahun ini. Tapi sayangnya, tuh cowok sama sekali nggak pernah melirik apa lagi menyatakan cinta padaku. Menyedihkan! Sekarang, sebuah kenyataan membuktikan bahwa Dedy telah pacaran dengan adik kelas sepupunya!
“Lo ngapain masih diam di situ, Dhik? Bantuin gue, dong” sungutku sambil mengulurkan tangan minta ditolong. Bukannya menerima uluran tanganku, Dhika lebih memilih untuk menyelamatkan sepedaku. “Dhika!” teriakku kencang. Semetara Dhika dengan tampang lugunya hanya mengontrol sepedaku yang tampak lecet. “Kayaknya sepeda lo harus buruan masuk bengkel deh. Kalau nggak, gue nggak mau tanggung jawab kalo pulang sekolah lo nebeng sama gue.” “Lo itu nyebelin banget ya, Dhik! Lo nggak peduli apa lutut gue bocor!” sungutku sambil menunjukan lututku yang mulai banjir darah. “Ah … gitu doing. Manja lo. Udah ah, gue bawa dulu sepeda lo ke bengkel. Nyusahin aja lo.” Sahut Dhika tampak tak peduli.
Astaga … ini anak betul-betul bikin darahku mendidih. Dengan memperjuangkan seluruh hidup dan matiku, kucoba untuk berdiri. Behasil!. Kuliat si Andhika Setiawan itu membawa sepedaku keluar dari sekolah. Heran, tuh anak tujuan hidupnya tak jelas, kadang-kadang baik hati, kadang-kadang sangat menyebalkan! Entah sudah takdir atau musibah, aku pun harus menjadi tetangga makhluk satu itu. Aku berjalan terseok-seok menuju ke kelas yang jaraknya tinggal 100 meter. Tak sadar dan tadi ternyata kami berdua jadi tontonan anak-anak lain. Masa bodoh!
“Apa lo!” gertakku pada adik-adik kelas yang berkumpul sambil memandangku kasian. Seketika yang merasa  terpanggil langsung lari kocar-kacir. Sebagai keturunan teratas alias anak kelas 3, wajarlah kalau berlagak sok jagoan di hadapan adik kelas. Toh, aku juga nggak berniat untuk memeras uang ataupun perintah-perintah mereka.
“Door!” teriak seseorang lengkap dengan pukulan di pundak yang tak kira-kira kencengnya. “Lo mau ngagetin atau ngajak berantem, Cha! Memukul pundak kok kaya mukul bata,” gertakku sok-sokan pada Icha, teman sekelasku yang kebetulan juga satu bangku denganku. “Lho? Itu pundak, ya? Kirain beneran bata. Keras bener” “Nggak lucu ….” ejekku yang langsung menghadiahi jitakkan kecil di jidatnya. “Rese lo. Eh, kenapa tuh lutut, lo? Dahsyat! Semburannya ngalahin semburan lumpur lapindo.”
Aku melihat kea rah lutut kiriku. Darah terus keluar dari lutut dan sebagian telah mengering. “Kalau nggak cepet-cepet ke UKS bisa infeksi loh!” tegur Icha. Ditariknya langsung tanganku seakan-akan membawaku berlari. Langsung saja kuhentakkan tangannya. “Cepetan” suruh Icha lagi. “Cepetan.  Cepetan … kaki gue sakit tau! Gimana bisa jalan cepat?” sungutku kesal.

“Sorry, La. Ya udah pelan-pelan aja…” “Tapi gue pengen cepat sampai di UKS.” pintaku.  “Iya … tapi gimana caranya. Jalan aja lo susah. Memangnya sekolah kita punya kersi roda?” “Nggak perlu kursi roda. Lo gendong aja gue sampai ke UKS.” Icha langsung mencak-mencak tak karuan.
***
                “Dhik! Sepeda gue tadi dimasukin ke bengkel mana?”tanyaku sepulang sekolah pada Dhika yang baru saja keluar dari kelasnya. “Bengkel simpang empat,” jawabnya singkat. “Anterin gue, ya… please… kaki gue masih sakit nih. Masa lo tega liat gue capek-capek jalan sampai ke simpang empatsana,” pintaku dengan nada memelas. Dhika hanya mengangguk-angguk kecil. Satu tanda bahwa aku boleh nebeng di sepeda motornya. Bengkel yang dituju lumayan dekat dengan sekolah. Letaknya tepat di persimpangan jalan. Bengkel sepeda ini bukan seperti bengkel service yang elit. Hanya halaman rumah yang disulap menjadi bengkel kecil.
                “Eh, elo Dhik. Sepedanya sudah beres tuh,” sapa salah satu tukang bengkel itu. Kalau dilihat dan wajah dan penampilan, tukang bengkel itu sangat mungkin seumuran dengan kami. “Temen lo ya, Dhik?” tanyaku seraya berbisik. “Iya… naksir? Udah … sana ambil sepeda lo,” suruh Dhika. “Iya… iya…,” Aku mengambil sepeda yang sudah terparkir di pinggir bengkel dibubuhi dengan mulut yang maju 3 senti.”Tiga puluh ribu, Neng,” sapa tukang bengkel itu saat aku sudah siap untuk menggenjot sepeda. “Apanya, Bang?” Si tukang bengkel itu hanya tersenyum kecil Aku langsung mengerti. Kukeluarkan tiga lembar  uang sepuluh ribuan pada abang itu. “Kirain tadi  udah dibayarin Dhika, Bang.” Si tukang bengkel hanya tersenyum.
                                                                                                ***
“Cha… sumpah … Bapak Reno cakep banget..” ucapku sambil memperhatikan Bapak Reno yang sedang asyik menjelaskan masalah trigonometri di depan kelas. “Wooy… sadar! Lo itu, ya… tiap kali ketemu  bapak Reno kayak orang kesambet tau, nggak” komentar Icha. Aku memilih untuk tidak menghiraukannya. Toh, alasan utamaku bukan ingin mengatakan bahwa bapak Reno cakep. Aku masih terus membayangkan Dedy lah yang telah menjelma menjadi Bapak Reno dan sampai  sekarang  aku masih tidak terima kalau Dedy yang kuidolakan takluk di tangan adik kelasnya. Tapi sekarang, walaupun aku tak berhasil mendapatkan Dedy, mungkin Pak Reno yang masih bujangan itu bisa sebagai pengganti.
“Reno…,” panggilku dengan sedikit manja. Bukannya Bapak Reno yang menoleh, malah Dhika yang berada tepat di depanku yang menengok ke arahku. “Lo kenal, Reno?” Tanya Dhika dengan wajah setengah terkejut. “Iya …” jawabku bingung. “Gue punya nomor handphone-nya kalau lo mau,” tawar Dhika. Tanpa menunggu aku setuju atau tidak, dirobeknya kertas kecil dan langsung dicatatkannya nomor handphone.
“Nggak gue sangka lo tertarik,” komentar Dhika sambil menyerahkan robekan kertas itu padaku. “Gue udah lama suka  tau!” “Oh ya… Dia juga cerita sama gue kalau dia lumayan tertarik sama lo,” kata Dhika. “Hah?” teriakku dan Icha bersamaan. “Ssssstt…!! Lala …,” tegur Pak Reno. Aku pun hanya  menjawab dengan senyum kecil masih dengan wajah yang terheran-heran. Beneran nih?
“Serius, Dhik? Cowok itu tertarik sama Lala?  Tanya Icha lagi memastikan. Kali ini dengan mengganti kata Bapak Reno dengan cowok  itu. Dhika hanya mengangguk. Kemudian disusul  dengan  mengacungkan jari telunjuk dan tengah. “Kesempatan lo terbuka lebar, La! Gue yakin lo bisa dapetin dia.”  
Aku hanya tersenyum kecil. Kulihat sekali lagi Bapak Reno tampak semakin gagah  menjelaskan mata pelajaran matematika. Rumus-rumus yang dituliskannya di papan tulis seketika berubah menjadi kata “Aku Suka Kamu.” Aku langsung mengucek-ucek mata. Untungnya rumus-rumus  yang di depan papan tulis langsung berubah seperti biasa. Kayaknya aku bisa mendapatkan Bapak Reno. Ucapku dalam hati.
                                                                                ***
Satu bulan sudah aku melakukan komunikasi lewat SMS dengan Bapak Reno. Tak kusangka, Bapak  Reno yang tadinya terlihat seperti bapak-bapak yang pendiam ternyata seseorang yang humoris. Hampir setiap  kali kami saling telepon selalu saja membicarakan hal-hal yang  lucu. Aku semakin merasa dekat dengan Bapak Reno.
Asal tau saja… Bapak Reno sudah menyatakan cintanya padaku! Cukup membuatku shock setengah mati. Tapi ku mencoba untuk tidak tergesa-gesa dan hanya memberikan sedikit harapan lengkap dengan perhatian-perhatian kecil, hanya lewat sms tentunya.
“Tapi kenapa ya, Cha? Setiap kali ketemu di sekolah, dia selalu aja cuek” “Dia siapa?” “Pak Reno” Kutendang kerikil yang berada di depanku. “Malu kali La…” Kami menutup mulut sejenak, saat mobil truk membuang gasnya tanpa permisi. “Padahal dia sendiri yang bilang, kalau ketemu sama gue, katanya mau negur gue duluan” “Terus, lo pernah nggak berpapasan sama dia?” “Pernah… tapi kenapa ya Pak Reno tampak nggak peduli bahkan seakan-akan nggak sadar kalau dia sedang berpapasan sama gue.” “Iya…ya  Gue juga  jadi bingung,” sahut Icha lagi.
Aku menunggu sampai lampu hijau berubah menjadi lampu merah. Aku dan Icha yang kebetulan berjalan kaki langsung menyeberang di zebra cross saat warna lampu telah berubah. Di seberang jalan tampak bengkel yang langsung mengingatkanku pada kejadian jatuh dari sepeda. Aku tertawa tertahan. “Kenapa,  La?” “Nggak apa-apa, Cuma ingat waktu jatuh dulu aja. Dhika benerin sepeda gue di bengkel ini” jawabku sambil menunjuk kea rah bengkel itu. “Lala!! Sini!!”  Aku dan Icha langsung menoteh ke a rah datangnya suara. Suara  Dhika memanggil terdengar dan dalam bengkel yang kutunjuk. Kami pun langsung mendatanginya.
“Kenapa, Dhik?” “Alaah lo… sok jaim. Gue disuruh dia manggil lo,” sahut Dhika. Aku langsung memajang wajah bingung. “Dia? Siapa Dhik?” “Cowok yang lo suka dari dulu!” jawab Dhika yang makin  membuatku heran. “Siapa?” “Itu!” tunjuk Dhika pada seorang tukang bengkel yang dulu memperbaiki sepedaku. Cowok yang kukatakan seumuran dengan kami. Hening. “Hai, La..”  sapa tukang bengkel itu seraya tersenyum. Astaga! Suara itu! Aku mengerti! Ini bukan salahku. Aku tak pernah member harapan padanya. Dhika salah sangka! Salah sangka! Badanku limbung saat tukang bengkel itu mengulurkan tangannya padaku. “Kenalin… Reno!”

1 komentar:

  1. Videoslots.com : youtube - Videoodl.cc
    YouTube Videoslots.com. If you need a youtube to mp3 convertor reliable provider to stream premium video, we are in the same place. Our site features the highest quality video

    BalasHapus