ASTAGA . . .
“Lala!
Awas!” teriak seseorang dari belakang. Bruk! Aku meringis kesakitan. Kulihat
roda depan sepedaku menabrak pohon yang tumbuh tegak di depan pagar sekolah.
“Udah gue ingatkan, kenapa nggak didengerin?” Dhika menghampiriku sambil
tertawa cekikikan. “Telat!” sahutku jutek. Dhika makin kencang tertawanya. Aku
memilih tak mempedulikan makhluk aneh di hadapanku itu. “Lala … Lala … makanya
kalau jalan pakai mata dong. Masa naik sepeda tapi mata lo lihat ke belakang.
Udah deh, nggak usah sampai segitunya kali ngeliatin Bapak Reno” ledek Dhika.
Aku
melotot kaget. Apa tingkah lakuku sebelumnya jatuh tadi sangat menarik
perhatian, ya? Jujur aku akui, memang aku sedang memperhatikan Bapak Reno yang
berjalan memasuki gerbang sekolah. Guru Matematika itulah satu-satunya guru
yang berhasil memutar balikan makna matematika di hadapanku. Sekarang, bukan
hanya aku jatuh cinta pada matematika. Namun juga sudah hampir tergila-gila
dengan Bapak Reno. Kenapa? Karena dia sangat mirip dengan Dedy. Cowok yang
berhasil memikat hatiku selama dua tahun ini. Tapi sayangnya, tuh cowok sama
sekali nggak pernah melirik apa lagi menyatakan cinta padaku. Menyedihkan!
Sekarang, sebuah kenyataan membuktikan bahwa Dedy telah pacaran dengan adik
kelas sepupunya!
“Lo
ngapain masih diam di situ, Dhik? Bantuin gue, dong” sungutku sambil
mengulurkan tangan minta ditolong. Bukannya menerima uluran tanganku, Dhika
lebih memilih untuk menyelamatkan sepedaku. “Dhika!” teriakku kencang. Semetara
Dhika dengan tampang lugunya hanya mengontrol sepedaku yang tampak lecet. “Kayaknya
sepeda lo harus buruan masuk bengkel deh. Kalau nggak, gue nggak mau tanggung
jawab kalo pulang sekolah lo nebeng sama gue.” “Lo itu nyebelin banget ya,
Dhik! Lo nggak peduli apa lutut gue bocor!” sungutku sambil menunjukan lututku
yang mulai banjir darah. “Ah … gitu doing. Manja lo. Udah ah, gue bawa dulu
sepeda lo ke bengkel. Nyusahin aja lo.” Sahut Dhika tampak tak peduli.
Astaga
… ini anak betul-betul bikin darahku mendidih. Dengan memperjuangkan seluruh
hidup dan matiku, kucoba untuk berdiri. Behasil!. Kuliat si Andhika Setiawan
itu membawa sepedaku keluar dari sekolah. Heran, tuh anak tujuan hidupnya tak
jelas, kadang-kadang baik hati, kadang-kadang sangat menyebalkan! Entah sudah
takdir atau musibah, aku pun harus menjadi tetangga makhluk satu itu. Aku
berjalan terseok-seok menuju ke kelas yang jaraknya tinggal 100 meter. Tak
sadar dan tadi ternyata kami berdua jadi tontonan anak-anak lain. Masa bodoh!
“Apa
lo!” gertakku pada adik-adik kelas yang berkumpul sambil memandangku kasian.
Seketika yang merasa terpanggil langsung
lari kocar-kacir. Sebagai keturunan teratas alias anak kelas 3, wajarlah kalau
berlagak sok jagoan di hadapan adik kelas. Toh, aku juga nggak berniat untuk
memeras uang ataupun perintah-perintah mereka.
“Door!”
teriak seseorang lengkap dengan pukulan di pundak yang tak kira-kira
kencengnya. “Lo mau ngagetin atau ngajak berantem, Cha! Memukul pundak kok kaya
mukul bata,” gertakku sok-sokan pada Icha, teman sekelasku yang kebetulan juga
satu bangku denganku. “Lho? Itu pundak, ya? Kirain beneran bata. Keras bener”
“Nggak lucu ….” ejekku yang langsung menghadiahi jitakkan kecil di jidatnya.
“Rese lo. Eh, kenapa tuh lutut, lo? Dahsyat! Semburannya ngalahin semburan
lumpur lapindo.”
Aku
melihat kea rah lutut kiriku. Darah terus keluar dari lutut dan sebagian telah mengering.
“Kalau nggak cepet-cepet ke UKS bisa infeksi loh!” tegur Icha. Ditariknya
langsung tanganku seakan-akan membawaku berlari. Langsung saja kuhentakkan
tangannya. “Cepetan” suruh Icha lagi. “Cepetan.
Cepetan … kaki gue sakit tau! Gimana bisa jalan cepat?” sungutku kesal.
“Sorry,
La. Ya udah pelan-pelan aja…” “Tapi gue pengen cepat sampai di UKS.”
pintaku. “Iya … tapi gimana caranya.
Jalan aja lo susah. Memangnya sekolah kita punya kersi roda?” “Nggak perlu
kursi roda. Lo gendong aja gue sampai ke UKS.” Icha langsung mencak-mencak tak
karuan.
***
“Dhik!
Sepeda gue tadi dimasukin ke bengkel mana?”tanyaku sepulang sekolah pada Dhika
yang baru saja keluar dari kelasnya. “Bengkel simpang empat,” jawabnya singkat.
“Anterin gue, ya… please… kaki gue masih sakit nih. Masa lo tega liat gue
capek-capek jalan sampai ke simpang empatsana,” pintaku dengan nada memelas.
Dhika hanya mengangguk-angguk kecil. Satu tanda bahwa aku boleh nebeng di
sepeda motornya. Bengkel yang dituju lumayan dekat dengan sekolah. Letaknya
tepat di persimpangan jalan. Bengkel sepeda ini bukan seperti bengkel service
yang elit. Hanya halaman rumah yang disulap menjadi bengkel kecil.
“Eh,
elo Dhik. Sepedanya sudah beres tuh,” sapa salah satu tukang bengkel itu. Kalau
dilihat dan wajah dan penampilan, tukang bengkel itu sangat mungkin seumuran
dengan kami. “Temen lo ya, Dhik?” tanyaku seraya berbisik. “Iya… naksir? Udah …
sana ambil sepeda lo,” suruh Dhika. “Iya… iya…,” Aku mengambil sepeda yang
sudah terparkir di pinggir bengkel dibubuhi dengan mulut yang maju 3
senti.”Tiga puluh ribu, Neng,” sapa tukang bengkel itu saat aku sudah siap
untuk menggenjot sepeda. “Apanya, Bang?” Si tukang bengkel itu hanya tersenyum
kecil Aku langsung mengerti. Kukeluarkan tiga lembar uang sepuluh ribuan pada abang itu. “Kirain
tadi udah dibayarin Dhika, Bang.” Si
tukang bengkel hanya tersenyum.
***
“Cha…
sumpah … Bapak Reno cakep banget..” ucapku sambil memperhatikan Bapak Reno yang
sedang asyik menjelaskan masalah trigonometri di depan kelas. “Wooy… sadar! Lo
itu, ya… tiap kali ketemu bapak Reno
kayak orang kesambet tau, nggak” komentar Icha. Aku memilih untuk tidak menghiraukannya.
Toh, alasan utamaku bukan ingin mengatakan bahwa bapak Reno cakep. Aku masih
terus membayangkan Dedy lah yang telah menjelma menjadi Bapak Reno dan
sampai sekarang aku masih tidak terima kalau Dedy yang
kuidolakan takluk di tangan adik kelasnya. Tapi sekarang, walaupun aku tak
berhasil mendapatkan Dedy, mungkin Pak Reno yang masih bujangan itu bisa
sebagai pengganti.
“Reno…,”
panggilku dengan sedikit manja. Bukannya Bapak Reno yang menoleh, malah Dhika
yang berada tepat di depanku yang menengok ke arahku. “Lo kenal, Reno?” Tanya
Dhika dengan wajah setengah terkejut. “Iya …” jawabku bingung. “Gue punya nomor
handphone-nya kalau lo mau,” tawar Dhika. Tanpa menunggu aku setuju atau tidak,
dirobeknya kertas kecil dan langsung dicatatkannya nomor handphone.
“Nggak
gue sangka lo tertarik,” komentar Dhika sambil menyerahkan robekan kertas itu
padaku. “Gue udah lama suka tau!” “Oh
ya… Dia juga cerita sama gue kalau dia lumayan tertarik sama lo,” kata Dhika.
“Hah?” teriakku dan Icha bersamaan. “Ssssstt…!! Lala …,” tegur Pak Reno. Aku
pun hanya menjawab dengan senyum kecil
masih dengan wajah yang terheran-heran. Beneran nih?
“Serius,
Dhik? Cowok itu tertarik sama Lala?
Tanya Icha lagi memastikan. Kali ini dengan mengganti kata Bapak Reno
dengan cowok itu. Dhika hanya
mengangguk. Kemudian disusul dengan mengacungkan jari telunjuk dan tengah.
“Kesempatan lo terbuka lebar, La! Gue yakin lo bisa dapetin dia.”
Aku
hanya tersenyum kecil. Kulihat sekali lagi Bapak Reno tampak semakin gagah menjelaskan mata pelajaran matematika. Rumus-rumus
yang dituliskannya di papan tulis seketika berubah menjadi kata “Aku Suka
Kamu.” Aku langsung mengucek-ucek mata. Untungnya rumus-rumus yang di depan papan tulis langsung berubah
seperti biasa. Kayaknya aku bisa mendapatkan Bapak Reno. Ucapku dalam hati.
***
Satu
bulan sudah aku melakukan komunikasi lewat SMS dengan Bapak Reno. Tak kusangka,
Bapak Reno yang tadinya terlihat seperti
bapak-bapak yang pendiam ternyata seseorang yang humoris. Hampir setiap kali kami saling telepon selalu saja
membicarakan hal-hal yang lucu. Aku
semakin merasa dekat dengan Bapak Reno.
Asal
tau saja… Bapak Reno sudah menyatakan cintanya padaku! Cukup membuatku shock
setengah mati. Tapi ku mencoba untuk tidak tergesa-gesa dan hanya memberikan
sedikit harapan lengkap dengan perhatian-perhatian kecil, hanya lewat sms
tentunya.
“Tapi
kenapa ya, Cha? Setiap kali ketemu di sekolah, dia selalu aja cuek” “Dia
siapa?” “Pak Reno” Kutendang kerikil yang berada di depanku. “Malu kali La…”
Kami menutup mulut sejenak, saat mobil truk membuang gasnya tanpa permisi.
“Padahal dia sendiri yang bilang, kalau ketemu sama gue, katanya mau negur gue
duluan” “Terus, lo pernah nggak berpapasan sama dia?” “Pernah… tapi kenapa ya
Pak Reno tampak nggak peduli bahkan seakan-akan nggak sadar kalau dia sedang
berpapasan sama gue.” “Iya…ya Gue
juga jadi bingung,” sahut Icha lagi.
Aku
menunggu sampai lampu hijau berubah menjadi lampu merah. Aku dan Icha yang
kebetulan berjalan kaki langsung menyeberang di zebra cross saat warna lampu
telah berubah. Di seberang jalan tampak bengkel yang langsung mengingatkanku
pada kejadian jatuh dari sepeda. Aku tertawa tertahan. “Kenapa, La?” “Nggak apa-apa, Cuma ingat waktu jatuh
dulu aja. Dhika benerin sepeda gue di bengkel ini” jawabku sambil menunjuk kea
rah bengkel itu. “Lala!! Sini!!” Aku dan
Icha langsung menoteh ke a rah datangnya suara. Suara Dhika memanggil terdengar dan dalam bengkel yang
kutunjuk. Kami pun langsung mendatanginya.
“Kenapa,
Dhik?” “Alaah lo… sok jaim. Gue disuruh dia manggil lo,” sahut Dhika. Aku
langsung memajang wajah bingung. “Dia? Siapa Dhik?” “Cowok yang lo suka dari
dulu!” jawab Dhika yang makin membuatku
heran. “Siapa?” “Itu!” tunjuk Dhika pada seorang tukang bengkel yang dulu
memperbaiki sepedaku. Cowok yang kukatakan seumuran dengan kami. Hening. “Hai,
La..” sapa tukang bengkel itu seraya
tersenyum. Astaga! Suara itu! Aku mengerti! Ini bukan salahku. Aku tak pernah
member harapan padanya. Dhika salah sangka! Salah sangka! Badanku limbung saat
tukang bengkel itu mengulurkan tangannya padaku. “Kenalin… Reno!”
Videoslots.com : youtube - Videoodl.cc
BalasHapusYouTube Videoslots.com. If you need a youtube to mp3 convertor reliable provider to stream premium video, we are in the same place. Our site features the highest quality video